Saturday, August 14, 2010

Jalan Sunyi Kota Mati

Ikuti.... Sejak langkah yang bertapak
Ikuti... Menapak jalan kesunyian....
 
Rasanya baru kemarin ketika Vika mengalami kejadian menyedihkan itu. Tapi, tiba-tiba saja, hari ini, genap setahun sudah ia melewati siksaan batin. Meskipun ia tahu, siksaan itu tidak akan hilang untuk bertahun-tahun kemudian.
Vika masih menapaki jalan sunyi itu. Memandang lurus ke depan jalan tak berujung itu. Entah apa yang menggerakkannya datang ke sini lagi. Yang ia tahu, ia hanya ingin melihat bayangan Radit, sahabatnya. Radit meninggal di jalan ini tepat setahun lalu. Tragedi itu.... Ah, Vika takut mengulangi memori mengerikan itu. Tapi , ia kangen dengan Radit. Vika tahu, hanya hari ini dia bisa bertemu lagi dengan Radit.
Vika menghela nafas . Di elusnya liontin perak yang menggantung di leher jenjangnya. Dengan lirih ia mengucap kata-kata yang dirapalkannya dengan cepat.. Kepala Vika langsung berdenyut-denyut. Resiko yang ditanggungnya jika ia tetap ngotot bertemu dengan roh yang ada di jalan itu.
“Radit, Vika datang,” kembali Vika berbisik. Sesosok cowok pucat menghampirinya. Wajahnya sayu. Ia masih memakai seragam sekolah.
“Vika,” roh itu tersenyum padanya.
“Selamat ulang tahun yang ke delapan belas, Dit,” Vika mengucap lirih.
“Thanks, Vi.Tapi aku baru tahu kalau ternyata roh juga bisa ulang tahun,” Radit membalasnya. Masih dengan senyuman hangat. Tapi wajah Vika semakin sedih.
“Sudah satu tahun, Dit,” tangis Vika hampir meluruh.
“Maafin aku Vi. Pasti berat buat kamu menghadapi semua ini,” ujar Radit pelan. Vika jatuh terisak-isak. Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Dengan gelengan lemah, ia makin tersedu-sedu.
“Kalau saja, kalau saja waktu itu aku nggak ngotot, kalau saja waktu itu aku dengerin kamu, semua ini nggak bakal terjadi,” kata Vika di tengah tangisnya. Radit berlutut di depannya.
“Sudahlah Vi. AKu tahu kamu nyesel. Tapi, buat apa di sesali. Semua kan udah terjadi,” Radit tersenyum. Saat itu, memori Vika kembali ke peristiwa tahun lalu. ....................................................................................................................................... “Ayolah Dit, temani aku. Sekali aja... aku penasaran banget nih!” Seru Vika sambil menarik lengan kemeja Radit.
“Nggak ah Vi.. masak kamu nggak tahu kalo tempat itu aneh?!” Kedua alis Radit terangkat.
“Plisss, ada sesuatu yang harus aku tunjukin ke kamu di sana,” Vika merayu lagi.
“Tapi kita belum ijin Vi,” sahut Radit.
“Ayolah Dit. Pliss, demi aku,” Vika kembali memohon.
“Vi,” Radit menghela nafas. Vika memandang dengan mata berbinar-binar.
“Oke deh. Aku temani kamu,” akhirnya Radit menyerah. Mereka berdua sampai di jalan sunyi itu. Jalan sunyi itu terletak di balik tembok yang memisahkan kota dan padang rumput di kota tua. Kota yang sudah lama mati karena wabah cacar.
“Kamu mau ngapain Vi?” Radit bertanya dengan tampang bingung. Vika hanya tersenyum sendiri.
“Lihat aja. Aku bakal ngasih kamu kejutan,” kata Vika sok misterius. Radit garuk-garuk kepala.
“Kamu aneh,” kata Radit.
“Kok aneh,” Vika pura-pura merengut.
“Ya aneh. Masak mau ngasih kejutan, kamu bawa aku ke tempat kayak gini,” celetuk Radit.
“Yee! Biar seru kali,” jawab Vika seenaknya.
“Kamu tutup mata dulu ya, Dit,” pinta Vika. Radit memejamkan matanya. Namun tiba-tiba ia merasakan kecupan di pipinya.
“Vika?” Radit kaget.
“Happy birthday, Radit,” kata Vika lirih. Radit sudah akan membuka kedua matanya. Tapi Vika menahannya.
“Jangan dulu, Dit. Masih ada yang lain,” kata Vika. Radit urung. Telinganya mendengar sesuatu. Seperti kata-kata yang dirapalkan dengan cepat. Radit tidak tahu, hari ini adalah ulangtahun terakhir di dunia yang akan dilaluinya.
“Radit, ini kejutan dariku,” Vika membiarkan Radit membuka kedua matanya. Mata Radit langsung melebar.
“Ayah,” Radit menatap sosok di depannya. Ia ternganga. Bagaimana bisa? Ayahnya sudah meninggal dunia. Dan tiba-tiba dia sudah ada di depannya. Apakah ini hanya ilusi?
“Radit, selamat ulang tahun nak. Usiamu sudah genap tujuh belas tahun sekarang,” sosok itu mulai berbicara. Radit berkaca-kaca. Ayah yang dia sayangi, ayah yang ia hormati, ayah yang selalu dia rindukan.
“Ayah,” Radit hanya mampu mengucap kata itu. Tangannya hendak menjangkau sosok di depannya namun urung karena Vika tiba-tiba jatuh.
“Vika!” Pekik Radit. Vika tersengal-sengal.
“Radit! Pergi!” Jerit Vika.
“Vika?!” Radit semakin bingung.
“Pergi!!!” Teriak Vika. Tempat sekeliling mereka berubah jadi gelap. Vika merasakannya. Vika bisa merasakan kedatangannya.
“Vika,” panggil suara itu. Vika makin tercekat.
“Kau tahu kan aturannya? Aku harus membawa temanmu itu,” suara itu kembali terdengar. Vika merinding. Ia bisa melihat Radit yang terkapar di tengah jalan itu.
“Tidak!! Jangan Radit!” Erang Vika. Ia mencoba meraih Radit. Tangan Radit mulai berkeringat dingin. Mulai kejang. Vika membungkuk di atas wajah Radit.
“Kamu jangan mati Dit. Kita pasti bisa selamat,” Vika terus merancau. “Vika,” Radit berkata lemah. Vika segera menyambar lengan Radit. “Sudah waktunya, Vika. Radit harus pergi bersamaku,” kata suara itu. Vika mencoba protes.
“Aku nggak tahu aturannya!!” Teriak Vika.
“Aturan tetap aturan Vika. Radit harus pergi.
“Radit, sebelum kita berpisah, aku mau bilang tentang rahasiaku. Kamu tahu, Dit? Di jalan ini, aku bisa memanggil roh orang yang sudah meninggal. Tapi, setiap aku memanggil roh itu, usia hidupku akan berkurang satu tahun. Asal kamu tahu, aku sudah melakukan hal ini hampir sembilan belas kali. Radit, maafkan aku,” Vika mulai menangis. Radit makin pucat mendengar penjelasan Vika.
“Vi, nggak... seharusnya kamu nggak ngelakuin itu,” kata Radit parau.
“Maafin aku Dit,” Vika terisak.
“VIKA!” Suara itu menyadarkan Vika. Waktunya sudah tiba. Radit akan mati. Ia sudah melanggar aturan itu. Aturan bahwa ia tak boleh di saksikan orang lain waktu melakukan pemanggilan roh. Vika sudah melanggarnya dan kini Radit adalah korbannya.
“Radit,” Vika merintih. Radit hanya bisa menatapnya dengan sayu. “Vika, sampai jumpa di kehidupan yang lain,” kata Radit sambil tersenyum Tapi senyum Radit malah membuat Vika makin terluka.
Esoknya, Mayat Radit ditemukan berlumuran darah di sebuah jalan di dalam kota. Semua orang meributkan peristiwa yang di duga peristiwa tabrak lari itu. Hanya Vika, hanya Vika yang memendam perih karena mengetahui kejadian itu. ........................................................................................................................................ “Vika,” roh Radit mengembalikan pikiran Vika pada masa kini. “Sebenarnya, aku juga akan pergi,” kata Vika. Radit terkejut.
“Mau pergi ke mana?” Vika menghela nafas.
“Kamu ingat kan? Setiap aku melakukan pemanggilan roh, maka umurku akan berkurang satu tahun,” kata Vika. Radit mengangguk.
“Masa hidupku sudah habis karena aku terlalu sering melakukan pemanggilan roh. Dan ini hari terakhirku menapaki dunia sebagai manusia,” kata Vika lirih. Radit makin terlonjak.
“Vika?” Radit bertanya ragu.
“Kita akan bersama lagi,” Vika mengatakan hal itu sambil tersenyum. Namun airmatanya menggenang.
“Kamu mau kan, menerimaku?” Tanya Vika sambil mengulurkan tangannya. Radit tersenyum.
“Tentu saja aku mau,” Radit menyambut tangan Vika.
Lalu mereka berdua menapaki jalan itu bersama. Hingga akhir jalan yang tak pernah terlihat itu. Sesuatu berkilauan di tempat Vika meninggalkan raganya. Kalung berliontin itu masih terpasang manis di raga Vika yang mulai membiru.

No comments:

Post a Comment